Selasa, 19 November 2013

Cerita Pelukis Tembok (Graffiti)


Sempat Dibacok dan Dipalak Karena Graffiti

Dian Hutama menyelesaikan graffiti di Dusun Gowok, Caturtunggal, Depok, Sleman, Minggu (19/20). JIBI/Harian Jogja/Sunartono

Selasa, 21 Mei 2013 12:02 WIB |
Sunartono/JIBI/Harian Jogja | Dilihat: 856 Kali
|



Dimusuhi bahkan dibacok oleh beberapa anggota geng, seolah telah menjadi “makanan” bagi Dian Hutama. Hobinya melukis di tembok yang kerap menutupi coretan nama kelompok atau geng tertentu menjadi tantangan tersendiri baginya.


Dianggap tak berguna tak masalah asal seni graffiti karyanya bisa dinikmati masyarakat. Mungkin itulah yang ada di benak Dian Hutama, remaja asal Pakualaman, Kota Jogja, yang sudah lebih dari lima tahun menjadi pelukis jalanan. Ratusan tembok sudah dia sulap menjadi kanvas yang terlihat indah, jauh berbeda dengan coretan nama kelompok atau geng tertentu yang mengidentitaskan golongannya.

Sejak Sabtu (18/5) hingga Senin (20/5) kemarin. Dian bersama dua rekannya merampungkan proyek graffiti di salah satu tembok pinggir jalan di Dusun Gowok, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman. Di bawah terik matahari, ia bersama Damar dan Jati, rekannya, menyelesaikan karya langka.

Di dunia seni graffiti, Dian berasal dari komunitas Mr. Mace, sedangkan Jati dari Dos, dan Damar merupakan kelompok Mads. Ketiganya memiliki nama yang berbeda tetapi satu tujuan, yakni menjadikan ruang publik jauh dari aksi vandalisme.

Dian mengaku, banyak suka duka menjadi pelukis jalanan. Satu sisi, bangga ketika melihat karyanya bisa dinikmati banyak orang karena berada di area public space. Tetapi untuk menghasilkan itu memang tidak mudah dan butuh perjuangan. Tak jarang ia harus berhadapan dengan preman demi memperjuangkan media yang bakal dijadikannya untuk melukis. Merasakan bacokan demi graffiti pun pernah dia rasakan.

“Tahun 2008 silam saya dibacok di pelipis saat membuat graffiti di depan Hotel Ambarrukmo. Ketika saya melukis ada orang mendekat, entah dia mabuk atau bagaimana, dia langsung membacok saya,” ujarnya kepada Harian Jogja sembari menunjukkan bekas sabetan pisau di pelipis kanannya.

Sejak tiga tahun terakhir, ia menghindari membuat lukisan saat malam hari. Karena menurutnya hal itu cukup berisiko, sering didatangi preman, atau dimintai uang.

Bersama ketiga rekannya, ia menargetkan bisa menyelesaikan graffiti seluas sekitar 2,5 X 10 meter itu. Tak kurang dari Rp 1,5 juta dia habiskan hanya untuk mewarnai gambar itu. Selain mendapatkan sponsor untuk kebutuhan dasar lukisan, mereka juga merogoh kocek pribadi.

“Mudah-mudahan cepat selesai,” kata pria yang sejak sekolah di bangku menengah hobi melukis graffiti ini.

Dian juga mengaku prihatin dengan banyaknya coretan nama geng dan kelompok tertentu di seputaran Jogja. Bahkan tak jarang setelah hasil karyanya tiba-tiba diberikan coretan orang tak bertanggungjawab. Selain itu minimnya kepedulian masyarakat terhadap graffiti menjadikannya sebagai lokasi pemasangan pamflet atau poster. “Sebaiknya jangan asal menutupi karya orang lain. Kadang pamflet juga,” kata dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar